Pendidikan Karakter Merupakan Kebutuhan Mendesak

Penulis: Mirza rizky ranandra

Data tentang penyalahgunaan narkoba, prilaku seks bebas di kalangan remaja, meningkatnya kasus-kasus ketidak jujuran dan kekerasan remaja,   KDRT dan  tawuran menjadi dasar betapapentingnya pendidikan karakter

Tahun 2010  merupakan awal  pencanangan  pendidikan karakter bangsa di negara kita, tepatnya pada tanggal 14 Januari 2010,  pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional mencanangkan program “Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa” sebagai gerakan nasional.  Setelah dicanangkan program ini,  beberapa Direktorat Jenderal dengan Direktorat-direktorat yang ada segera menindaklanjuti dengan menyusun rambu-rambu penerapan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Bahkan kementerian-kementerian lainpun juga diberi tugas untuk mengembangkan dan melaksanakan pendidikan karakter di lingkungannya. Di lingkungan Kementerian Pendidikan telah berhasil disusun “Disain Induk Pendidikan Karakter”. Kemudian Direktorat PSMP  dan PSMA, Puskur juga telah membuat rancangan  pelaksanaan dengan mengembangkan silabus yang dikaitkan dengan nilai-nilai karakter bangsa.

Pembicaraan pendidikan karakter terjadi di mana-mana. Selama tahun 2010 sampai sekarang, hampir setiap pertemuan ilmiah, seperti diskusi, sarasehan, dan seminar, baik seminar regional,  nasional maupun internasional mengambil tema tentang pendidikan karakter. Nampaknya program pendidikan karakter ini masih akan menjadi main stream di masa-masa berikutnya. Hal ini menunjukkan betapa urgensinya  mengenai pendidikan karakter bagi bangsa ini, sehingga sangat tepat pemerintah melalui  Kementerian Pendidikan Nasional mencanangkan pendidikan budaya dan karakter bangsa. Mengapa perlu pendidikan karakter, apa dan bagaimana pendidikan karakter, bagaimana peran pemerintah dan masyarakat,  khususnya dunia pendidikan dalam pengembangan pendidikan karakter?

Presiden SBY dalam mengawali kerjanya sebagai Kepala Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II mengangkat isu tentang pendidikan karakter bangsa sebagai pilar pembangunan. Selanjutnya Presiden menyatakan bahwa kita harus menjaga jati diri bangsa Indonesia. Hal yang membedakan bangsa kita dengan bangsa lain di dunia adalah budaya kita, way of life dan ke-Indonesiaan kita. Ada identitas dan kepribadian yang membuat bangsa Indonesia khas, unggul, dan tidak mudah goyah.    Budaya ke-Indonesiaan kita tercermin dalam sikap pluralisme atau kebhinekaan, kekeluargaan, kesatuan, toleransi, sikap moderat,  keterbukaan, dan kemanusiaan.  Hal-hal inilah yang harus kita jaga, kita pupuk,  kita suburkan di hati sanubari kita dan di hati anak-anak kita.

Pernyataan presiden tersebut mengingatkan kita semua kepada pesan Bung Karno, Presiden pertama RI.  Bung Karno yang  menggelorakan tema  besar “nation and character building”  pernah berpesan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa tugas berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Pernyataan Bung Karno ini menunjukkan pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter demi tegak dan kokohnya jati diri bangsa agar mampu bersaing di dunia global.

Pandangan dan pernyataan dari dua pemimpin itu memberikan gambaran bahwa pendidikan karakter bangsa itu merupakan hal sangat fundamental dari kehidupanbermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu sudah selayaknya kalau pendidikan atau pembangunan karakter bangsa ini secara konstitusional mendapatkan landasan yang kuat. Negara dapat mengitervensi langsung sistem dan struktur dalam lembaga pendidikan untuk menanamkan pembentukan karakter dalam diri siswa sesuai semangat yang ingin diperjuangkan, yaitu pembentukan individu yang memiliki karakter kebangsaan berdasakan Pancasila dan UUD 1945.

Bukan hanya sekedar keinginan pemerintah untuk mewujudkan pendidikan karakter ini, tetapi merupakan tuntutan mendesak bagi perkembangan generasi muda sekarang ini. Hal ini dapat dilihat data-data yang dipublikasikan betapa hancurnya moral generasi muda bangsa yang memerlukan perhatian semua pihak. Diantaranya dapat dilihat pada data tentang penyalahgunaan narkoba, prilaku seks bebas di kalangan remaja, meningkatnya kasus-kasus ketidak jujuran dan kekerasan remaja, KDRT, tawuran dan kasus-kasus amoral lainnya yang memprihatinkan kita.

Penelitian Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) pada 2007 lalu menemukan, perilaku seks bebas bukanlah sesuatu yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia.Meningkatnya perilaku seksual pranikah di kalangan remaja diperkuat oleh data Kementerian Kesehatan 2009 dari penelitian di empat kota. Sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum  menikahBahkan, 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seksual  pranikah. Keempat kota itu adalah Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya. Data ini hasil penelitian  Komnas Perlindungan Anak. Dilaporkan selama Maret- April 2009 dari hasil penelitian tersebut 18 siswi SMP di Jakarta Barat menyambi sebagai PSK selepas sekolah. Di Karawang ditemukan 113 siswi berusia 15-18 tahun menjadi PSK.  Keadaan demikian dilaporkan karena beberapa faktor diantaranya karena broken home, lemahnya kontrol orang tua, hedonisme, konsumerisme. Dunia seks bagi kalangan remaja masih misterius dan ditutup-tutupi. Bagi mereka yang tidak mengerti akan salah melangkah dan terjerumus dalam seks bebas.  Data kehamilan remaja di Indonesia menunjukkan hamil di luar nikah karena diperkosa sebanyak 3,2 %; karena sama-sama mau sebanyak 12,9 % dan tidak terduga sebanyak 45 %. Seks bebas sendiri mencapai 22,6 %.

Hal ini juga digambarkan penderita AIDS dam HIV di Indonesia bertambah terus akibat penyimpangan perilaku seksual.  Menko Kesra (2006) menyatakan  bahwa tidak ada satu provinsipun di Indonesia yang terbebas dari HIV/AIDS. Jumlah penderita  HIV/AIDS sampai Maret 2005 mencapai 10.156 orang, perkembangan menunjukan 10 % lebih perbulan pada tahun 2005.  Juni 2005 sebanyak 7.090 orang, meningkat pada bulan Setember menjadi 8.250 orang, Desember 9.565 orang dan Maret 2006 menjadi 10.156. Bayangkan saja kalau kondisi ini tidak berubah pada saat ini bisa dua atau tiga kali lipat penderita HIV/AIDS. Pada umumnya mereka berusia muda, lebih dari separuhnya berusia 20-29 tahun. Dengan penularan 50.1% melalui jarum suntik. Di AS dilaporkan pergaulan bebas (free sex) terjadi 8:10 remaja putra telah melakukan seks bebas dan 7:10 untuk remaja putri. Dilaporkan pula provinsi terbanyak adalah: Jakarta, Papua, Jatim, Jabar, Bali, Riau, Sulsel, Sumut dan Jateng. Data pendetita HIV pada tahun 1993 menurut WHO dilaporkan sebanyak 14 juta orang dan akhir abad 20  mencapai 40 juta yang terkena HIV. Kasus HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan sampai  September 2014 total penderita   HIV sebanyak 150.285  orang dan       AIDS  sebanyak    55.799 orang, padahal pada tahun 2010 penderita HIV hanya  21.031 dan AIDS sebanyak 7.312 orang. Semua  provinsi telah terjangkit HIV/AIDS, DKI merupakan provinsi yang tertinggi (HIV = 32.782 dan AIDS = 7.477),  kedua  Papua (HIV = 16.051 dan AIDS = 10.184),  ketiga Jawa Timur (HIV = 19.249 dan AIDS = 8.976), keempat Jawa Barat (HIV = 13.507  dan AIDS =  4.191) dan kelima Bali (HIV = 9.637 dan AIDS = 4.261).

Jumlah penyalahgunaan narkoba di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Hasil penelitian tahun 2008 jumlah penyalahguna narkoba mencapai 3,3 juta orang. Kemudian tahun 2011 menjadi 3,8 juta orang dan di 2013 mencapai lebih dari 4 juta orang, data terakhir 2015 pengguna narkoba di Indonesia mencapai 5 jutaan.

 

Penelitian yang dilakukan Asian Harm Reduction Network (AHRN) terhadap remaja pengguna narkoba menemukan bahwa mereka mengkonsumsi narkoba pada umur 9 tahun. “Kebanyakan memulai dengan mengkonsumsi boti (obat tidur) seperti diazepam atau valium. Sisanya memulai dengan konsumsi ganja,” Kepala Proyek Penelitian AHRN dalam presentasi  hasil  penelitiannya melaporkan adanya peningkatan penggunaan narkoba di usia yang semakin dini. Dari 500 lebih responden remaja pengguna narkoba, termasuk pelajar dan mahasiswa, yang diwawancarai, separuhnya atau 50 persen memulai penggunaan narkoba pada umur 9-15 tahun.

Tawaruan remaja antar kampung ataupun pelajar antar sekolah menjadi tontonan kita  setiap hari menunjukan sikap brutal dan emosional remaja kita semakin  menghawatirkan. Pada tahun 1996 terjadi tawuran di Jakarta 150 kali, meninggal 19 orang luka 26 orang, tahun 1997 terjadi 121 kali tawuran dengan jumlah yang meninggal 15 orang dan luka 24 orang. Pada tahun 1998 meningkat hampir dua kali lipat yang jumlahnya mencapai 230 kali dengan  jumlah meninggal 15 dan luka 34. Pada tahun 1999 menurun menjadi 64 kali, tetapi jumlah yang meninggal hanya turun sedikit yaitu sebanyak  12 orang dan yang luka meningkat menjadi 36 orang. Setidaknya 17 remaja tewas dalam tawuran di wilayah Jabodetabek sejak 1 Januari 2012 hingga 26 September 2012. “Jumlahnya meningkat dari 2011 yang sebesar 12 orang tewas,” ujar Ketua Divisi Sosialisasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni’am, di Jakarta, Rabu, 27 September 2012. Pada tahun 2010 di Jabodetabek  terjadi tawuran  102 kasus, Luka ringan 54, luka berat 31, meninggal dunia 17 orang, selanjutnya tahun 2011 ada 96 kasus tawuran, luka ringan 62, luka berat 22, meninggal dunia 12 orang dan pada tahun 2012 terdapat 103 kasus, luka ringan 48, luka berat 39, meninggal dunia 17.

Secara umum kerusakan moral ini terjadi dimana-mana seperti yang dikemukakan Lickona seorang profesor pendidikan dari Cortland University mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah :

  1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja;
  2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk;
  3. Pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan;
  4. Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas;
  5. Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk;
  6. Menurunnya etos kerja;
  7. Memakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru;
  8. Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga Negara;
  9. Membudayanya ketidakjujuran;

Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila telah memberikan landasan yang begitu mendasar, kokoh dan komprehensif. Selanjutnya secara operasional di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang  Nasional tahun 2005-2025. ditegaskan bahwa misi pertama pembangunan  nasional adalah terwujudnya  karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada tuhan YME, berbudi luhur, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.

Sebenar pendidikan karakter bukan hal yang baru dalam dunia pendidikan, karena pada hakekatnya suatu pendidikan adalah membentuk karakter manusia agar mampu menjadi orang dewasa yang dapat berkarya dan berprilaku sesuai tuntutan jamannya untuk menuju kesejahteraan hidup.  Hal ini terlihat dari konsep pendidikan dari para perintis pendidikan bangsa ini seperti  halnya Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.   Hal ini sejalan pula dengan definisi pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik.

Pendidikan karakter inipun sudah menjadi perhatian para tokoh dunia, seperti Mahatma Gandhi memperingatkan tentang salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character” (pendidikan tanpa karakter).Martin Luther King  sebagaimana dikutif Lickona, berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya).Juga Theodore Roosevelt sebagaimana dikutif Lickona, mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat).

Namun sayang dalam pelaksanaan pendidikan di lapangan, rumusan tujuan pendidikan nasional yang begitu komprehensip itu tidak sepenuhnya dipedomani. Secara formal sebenarnya telah muncul kesadaran bahwa misi utama pendidikan  tidak sekedar membuat peserta didik pintar otaknya, tetapi juga berkarakter baik. Tetapi dalam kenyataannya penyelenggaraan pendidikan kita lebih pragmatis dan masih tetap menekankan pada penguasaan materi ajar.  Di lembaga pendidikan formal, penyelenggaraan pendidikan lebih banyak sebagai proses pengembangan ranah kognitif, dan membangun  kecerdasan intelektual, sehingga pendidikan kita lebih bersifat intelektualistik. Sementara dari segi kualitas, pendidikan kita masih juga sering dipertanyakan. Menurut Anhar Gonggong  bahwa sampai sekarang “bentuk karakter” sebagai bangsa merdeka belum juga kita temukan, Bahkan dalam periode reformasi ini, ditenggarai oleh sementara pihak bahwa karakter bangsa negara kita makin terpuruk.

Sekolah sebagai ujung tombak dalam proses pembentukan karakter, disamping keluarga dan masyarakat. Maka sekolah harus  mengambil peranannya dalam pendidikan karakter ini. Peranan sekolah ini tak diragukan lagi sebagai lembaga yang membentuk karakter bangsa.  Upaya sekolah dalam membentuk karakter bangsa ini harus berkerja sama dengan stakeholders. Mulai dari pemerintah sebagai pemangku kebijaksanaan, masyarakat  baik sebagai objek ataupun subjek  dalam pendidikan karakter, maupun lembaga-lembaga lain yang terkait dan bertangung jawab atas perkembangan karakter ini.    Proses pendidikan yang begitu komprehensif, sebagai rancangan rekayasa pembentukan karakter yang baik, dengan melibatkan semua komponen yang bertanggung jawab terhadap penyelenggarakan pendidikan. Dengan format yang demikian itu, maka pengembangan pendidikan karakter telah mendorong penyelenggaraan pendidikan yang sesungguhnya, sebagaimana  diamanatkan oleh UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Namun pelaksanaannya belum menunjukan hasil yang memuaskan seperti dikemukakan Jimly Asshiddiqie bahwa pendidikan kita tidak berhasil membentuk sikap dan karakter, dan tidak juga membangun kapasitas kemampuan teknis untuk melakukan serta menerapkan pengetahuan dan sikap-sikap yang dimiliki dalam praktik.

Sekolah sebagai garda terdepan dalam pendidikan karakter bangsa harus mempunyai program pendidikan karakter yang dipadukan dalam kegiatan sekolah baik melalui kurikuler, maupun ekstrakurikuler. Program adalah suatu rencana yang melibatkan berbagai unit  yang berisi kebijakan dan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu.  Program pendidikan karakter adalah suatu perencaan  sekolah yang dibuat dalam upaya pengembangan karakter  bagi peserta didik melalui kegiatan kurikuler, maupun ekstrakurikuler.

DAFTAR PUSTAKA

Koesuma A., Doni.  Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak  di Zaman Global.  Jakarta: Grasindo,2007.

Clarke, Alan dan Ruth Dawson. Evaluation Researsch at Introduce to Principles Methode and Prantice. London: Sage Publication Ltd., 1999.

Asshiddiqie, Jimly.  “Membangun Karakter Bangsa.” Makalah, Seminar Membangun Karakter Manusia Indonesia. Jakarta: PPS UNJ, 26 November 2010.

Gonggong, Anhar.  “Karakter Bangsa Majemuk Indonesia.”  Makalah, Seminar Membangun Karakter Manusia Indonesia. Jakarta: PPS UNJ.  26 November 2010.

Dewantara, Ki Hadjar. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977.

Pusat Kurikulum dan  Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional. Panduan: Pelaksanaan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum dan  Perbukuan, 2011.

Lickona, Thomas. Education for Charater: How Our Schools  Can Teach Respect and Responsibility.  New York: Batam Books, 1998.

Wartawan Tempo. “Setahun 17 Pelajar Tewas Karena Tawuran.” http://www. tempo.com (diakses 27 September 2012).

Wartawan Kompas.  “Remaja Jakarta Mengkonsumsi Narkoba pada Umur 9 Tahun.” Harian Kompas, 17 Pebruari 2005.

Wartawan Pos Kota (Aby/Dms). “Perilaku Seksual Remaja Kian Mengkhawatirkan.” Poskota, 6 Nopember 2012.

 

Saputra, Ari.  “22,6 % Remaja Indonesia Penganut Seks Bebas.” http://www.detik.com  (diakses 31 Mei 2007).

Direktorat Jenderal PP & PL Kemenkes RI. “Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.”  http://spiritia.or.id/Stats/StatCurr.pdf (diakses  5 Desember 2014).

Anggriawan, Fiddy.  “BNN  Khawatir  dengan  Jumlah  Pengguna  Narkoba  di  Indonesia.” http://www.Okezone.com (Diakses 23 Januari 2014).

Bagikan ke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.